JUGUN IANFU
|
|
Latar belakang: Masa lalu yang terpendam
Mereka disebut “Jugun Ianfu” atau “Wanita Penghibur”. Namum istilah yang terselubung ini tidak dapat menghilangkan kepedihan. Kokohnya tabu bertahan sangat kuat , bahkan setelah enampuluh lima tahun berselang.
Perempuan berusia 80 tahun dihadapan saya tersenyum, seakan mohon dimaafkan. Kami sedang duduk di teras sebuah hotel yang tenang di kaki sebuah gunung berapi di Jawa Tengah. Matanya gelisah bergerak gerak. Ia nampaknya lebih suka menghilang saja, dan menyembunyikan kepalanya dalam kedua tangan saya. Ia masih seorang gadis saat Perang Dunia Kedua, baru berusia 13 tahun ketika ia sebagai seorang pekerja paksa berulangkali diperkosa oleh serdadu serdadu Jepang di barak dekat desanya. Ia hampir tidak mampu memaksa dirinya mengucapkan kata “perkosa”.
Apa yang sedang saya lakukan terhadap para perempuan ini? Membangkitkan kembali kenangan masa perang yang selama puluhan tahun telah mereka coba untuk melupakannya? Mengapa? Pertanyaan pertanyaan ini sering melintas dalam pikiran saya sejak saya dan juru foto Jan Banning di tahun 2007 bersama sama memutuskan untuk merekam pengalaman pribadi para wanita penghibur di Indonesia, melalui potret, gambar dan tulisan. Rasa malu, stigma dan rasa bersalah telah membungkam para wanita ini. Sementara mereka harus menghadapi dampak dampak fisik dan emosional dari pengalaman itu, para pelaku Jepang itu bebas begitu saja. Lingkaran kebisuan ini perlu dipatahkan, suara para wanita ini tidak lagi dipendam.
Bagi militer Jepang sistem wanita penghibur ini adalah sebuah kebijakan pragmatis saja. Seks terkontrol dalam bordil bordil militer, disarankan sebagai cara efektip ‘untuk merangsang semangat pasukan, memelihara hukum dan tatanan, dan menghindari perkosaan serta penyakit kelamin’, sebagaimana tercantum dalam sebuah arahan Kementerian Perang Jepang tahun 1938. Kebijakan bordil ini dilaksanakan secara luas setelah pasukan Jepang secara brutal merayakan penaklukan mereka atas Nanking, ketika itu ibukota Cina pada akhir 1937, dengan memperkosa paling sedikit 80.000 orang wanita dari berbagai usia. Kebijakan ini tidak hanya diberlakukan di Cina, tetapi juga di wilayah wilayah jajahan lainnya ketika Kekaisaran Jepang dengan cepat meluas pada akhir 1941, saat ia memasuki Perang Dunia II melalui serangannya atas Pearl Harbour. Wilayah jajahan itu termasuk Hindia Belanda, yang sekarang adalah Republik Indonesia.
Balatentara Jepang melaksanakan pembangunan ribuan bordil militer untuk melayani pasukan Jepang yang berjumlah tiga juta orang. Diperkirakan sekitar 50.000 – 200.000 Jugun ianfu, termasuk diantaranya 5.000 sampai 20.000 orang Indonesia, telah dipaksa masuk bordil militer. Beberapa rumah bordil dikelola oleh militer secara langsung. Sebagian besar “pusat penghiburan” itu dikelola oleh pihak swasta, sementara pihak militer tetap melakukan pengawasan dan pengendalian. Pemeriksaan medis rutin dan kewajiban menggunakan kondom adalah untuk menghindari pasukan kekaisaran secara besar-besaran terjangkit penyakit kelamin, sebagaimana pernah terjadi pada perang sebelumnya di tahun 1920an dan 1930an di Siberia dan Manchuria.
Pada saat para perempuan tiba di rumah rumah bordil militer, mereka menjalani pemeriksaan medis dan pendaftaran, mereka dipotret dan diberi nama nama Jepang. Setiap perempuan diberi kamarnya sendiri di mana pada waktu waktu yang tetah ditetapkan ia harus menerima pelanggan militer. Para tentara dapat membeli tiket di kantor depan, dan memilih seorang wanita dari photo yang dipajang. Penggunaan kondom diwajibkan, walaupun tidak semua orang mematuhinya secara sungguh sungguh. Para perempuan diperiksa setiap minggu guna mendeteksi penyakit kelamin. Siapa yang sakit menerima perawatan, dan tidak diijinkan kembali bekerja sebelum sembuh.
Bagi tentara pendudukan Jepang sistem Jugun Ianfu semata mata merupakan kebijakan pragmatis, namun bagi para perempuan ini adalah sebuah mimpi buruk. Mereka diculik, diancam, diambil dari jalanan secara paksa atau dengan janji janji palsu, diseret dari rumah mereka, atau dipanggil melalui kepala desa. Kemudian mereka diperkosa secara sistematis, tidak saja di bordil militer, tetapi juga di tangsi, gudang pabrik, gerbong kereta dan tenda perkemahan. Banyak diantara mereka masih dibawah umur, beberapa baru berusia 11, 12 atau 13 tahun. Kisah kisah mereka menunjukkan bahwa rumah rumah bordil militer nyaris tidak efektif dalam mempertahankan tatanan dan disiplin militer. Bahkan sebaliknya. Karena sebagian besar dari seluruh pasukan tidak memiliki kesempatan pergi ke rumah rumah bordil militer yang biasa, para perwira dan perajurit merasa berhak untuk memiliki “wanita penghibur” pribadi. Berbagai komandan membuat bordil tidak resmi di barak barak atau di sebuah gudang. Yang lainnya mengambil gadis dan perempuan setempat sebagai gundik dan juga mengijinkan anggota pasukannya untuk memiliki gundik, secara pribadi atau bersama teman sekamar. Selain itu, di semua barak dan perkemahan ada perempuan yang sebagai pekerja paksa, harus bekerja di dapur atau menggali parit, dan dengan siapa para tentara dapat berbuat semaunya tanpa berakibat. Kadang kadang para tentara pergi menjarah ke kampung kampung untuk mengambil gadis gadis selama satu hari atau lebih.
Salah satu kasus yang paling dikenal dan terrekam dengan baik adalah “Peristiwa Semarang”, dimana wanita wanita Belanda dari beberapa tangsi tahanan dikumpulkan dan dipaksa untuk melacurkan diri di rumah rumah bordil bagi para perwira, di akademi militer Jepang setempat. Ini juga adalah suatu kejadian langka dimana setelah berlangsung beberapa bulan, para petinggi militer melakukan intervensi. Setelah perang, dalam Mahkamah Militer Belanda Sementara di Batavia saat itu, para serdadu Jepang yang terlibat akhirnya divonis bersalah karena melakukan kejahatan perang dengan memaksakan pelacuran. Tetapi hanya sedemikian saja. Bagian terbesar dari para pelaku di wilayah Hindia Belanda dan wilayah jajahan lainnya, lolos. Nasib puluhan ribu perempuan Korea, Cina, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Indonesia disambut dengan kebisuan. Tidak satupun perundingan mengenai ganti rugi pada tahun 1950an dan 1960an membicarakan para Jugun Ianfu.
Di awal 1990an, Kim Hak-sun dari Korea memecahkan kebisuan. Murka karena seorang wakil pemerintahan Jepang berani menyangkal keberadaan sistem wanita penghibur, ia menceriterakan kisah dirinya pada akhir 1991. Hal itu menjadi pertanda dimulainya sebuah gerakan internasional. Tersentuh oleh kesaksian wanita Korea itu, sejarawan Jepang Yoshiaki Yoshimi menggali arsip dan menemukan bukti bukti resmi terdokumentasi tentang kebijakan Jepang mengenai bordil militer. Jepang merasa berkewajiban untuk melakukan penyelidikan. Dalam bulan Agustus tahun 1993 hal ini menghasilkan apa yang disebut sebagai Pernyataan Kono, di dalam mana pemerintah Jepang mengakui bahwa “penguasa militer pada masa itu, secara langsung dan tidak langsung, terlibat dalam pembuatan dan pengelolaan tempat tempat penghiburan dan pemindahan para wanita penghibur”. Pada sisi lain, perekrutan kebanyakan dilakukan oleh para agen swasta, walupun atas permintaan pihak militer. “Dalam banyak kasus, para wanita direkrut bertentangan dengan kemauan mereka sendiri, melalui cara cara pembujukan, pemaksaan dsb., dan, kadangkala, personil administrasi/militer ikut mengambil bagian dalam perekrutan ini.”
Bagi para korban dan kelompok kelompok advokasi Pernyataan Kono ini kurang memadai, sementara kelompok kelompok konservatif di Jepang berpendapat bahwa pemerintahnya telah bertindak melampaui batas dalam pengakuan bersalahnya. Pada tahun 1995, Tomiichi Murayama, perdana menteri Jepang yang seorang sosial-demokrat, mencoba memecahkan kebekuan politis dengan mendirikan Asian Women’s Fund (AWF, atau Dana Perempuan Asia). Badan non-pemerintah ini menerima uang dari pemerintah dan warga Jepang untuk pembayaran semacam ganti rugi kepada para bekas budak pelacuran, disertai permohonan maaf dari sang perdana menteri, yang mengindikasikan tanggung jawab moral atas penderitaan yang terjadi.
Inisiatip AWF tidak mengakhiri kontroversi. Sementara kelompok kelompok sayap kanan Jepang berhasil menghapus kembali isyu Jugun Ianfu dari buku teks sejarah, para korban dan kelompok kelompok advokasi kembali menarik perhatian internasional pada tahun 2007. Kesaksian dari beberapa korban bermuara pada Kongres Amerika Serikat mengadopsi sebuah resolusi yang menyerukan kepada Jepang “untuk mengakui” pelacuran paksaan selama Perang Dunia II, dan “untuk memohon maaf dan menerima tanggung jawab sejarah”.
Dalam proyek ini Jan Banning dan saya memusatkan perhatian pada para jugun ianfu Indonesia. Dalam catatan sejarah Belanda tentang Perang Dunia II di Hindia Belanda saat itu, ke limapuluh juta penduduk “pribumi” hanyalah pemeran pendukung. Riset sejarah di Indonesia juga hampir tidak menaruh perhatian kepada para korban pendudukan Jepang. Ketika di tahun 2002, untuk bukunya Traces of War (Jejak-Jejak Perang), Banning mendokumentasikan pengalaman para mantan pekerja paksa pada jalur jalur rel kereta api di Birma dan Sumatra, kami sudah menemukan bahwa nasib jutaan pekerja Indonesia, para romusha, telah dipeti-eskan. Hal serupa berlaku bagi para jugun ianfu Indonesia. Pers Indonesia pada tahun 2007 memang menyebutkan para korban dari Korea dan Cina, tetapi kebanyakan gagal menyebutkan ke 20.000 korban Indonesia. Tidak hanya Jepang, tetapi ternyata Indonesia juga telah memendam masalah ini. Ketimbang mendukung tuntutan para korban untuk pemuliahan, para perempuan itu diperingatkan agar tidak mengumbar “dosa dosa” mereka. Indonesia takut mengganggu hubungan baiknya dengan Jepang dan meresikokan kehilangan perdagangan dan aliran tetap dana dana pengembangan dan investasi.
Kesemua hal ini menjadi pendorong bagi Banning dan saya untuk membangun “proyek wanita penghibur”, untuk merekam pengalaman pribadi para perempuan ini dalam potret dan tulisan. Sebelum semuanya terlambat.
Menemukan para wanita ini tidaklah mudah. Jaringan kelompok pendukung Indonesia yang tadinya sangat luas, yang telah mendaftarkan nama ribuan mantan wanita penghibur, secara lambat laun menghilang. Kelompok kelompok kehilangan kontak, dokumen dibuang atau habis dimakan ngengat. Saat kami akhirnya berhasil menemukan beberapa orang penghubung, ternyata banyak diantara para perempuan itu telah meninggal dunia, sementara mereka yang masih tersisa tidak merasakan kebutuhan untuk membangkitkan kembali kenangan kenangan yang menyakitkan. Kami menjelajahi pulau Jawa, kepulauan Maluku, Kalimantan Timur, Sumatra Utara dan Timor Barat, di mana kami secara total telah mewawancarai dan memotret sekitar limapuluh orang perempuan. Kami harus mengadakan pendekatan pada mereka secara bijaksana, karena rasa malu masih sangat tajam terasa. Sering mereka tidak mampu memaksakan diri untuk mengucapkan kata “perkosa”, mereka terreduksi dalam cekikikan gugup dan menyebutnya “perselingkuhan paksa” atau “gini-gini”. Kadangkala keberadaan kami sebagai orang luar membantu, karena mereka kurang terkendala perasaan malu dan kekuatiran stigmatisasi yang dialama terhadap orang dekat seperti keluarga dan tetangga.
Bahkan setelah lebih dari enam dekade, banyak perempuan masih tetap mencoba merahasiakan sejarah masa perang mereka terhadap keluarga dan lingkungannya. Itu tidak selalu berhasil. Di beberapa tempat, semua orang tahu siapa siapa saja “barang bekas Jepang”. Bahkan dalam usia delapanpuluhan, beberapa peremepuan masih saja mengalami seringaian yang menhina. Sebesar besarnya keinginan mereka untuk menghapus jejak jejak sejarah masa perang mereka, tetap saja terbawa bawa sepanjang kehidupan mereka : Penghinaan dan kesakitan, keberadaan tanpa keturunan, perkawinan perkawinan yang gagal. Meskipun demikian, para perempuan yang diikutserta dalam pameran ini mau memecahkan kebisuan agar sejarah mereka terrekam. Mereka tidak menghendaki anak cucunya menjadi korban kekerasan seksual. Dan mereka menginginkan pengakuan, tidak hanya permohonan maaf , tetapi juga melalui kompensasi finansial yang telah bertahun tahun dijanjikan kepada mereka oleh kelompok kelompok advokasi. Dari semua hal ini mereka mendulang kekuatan untuk mengatasi rasa malu mereka, dan menangkat muka pada dunia.
Hilde Janssen
|